Dafter isi

t;

Kamis, 06 Juni 2013

Sistem motorik

SISTEM MOTORIK


Pada pemeriksaan motorik yang perlu diperhatikan adalah sikap, kekuatan, tonus, volume, penampilan tindakan motorik yang terkoordinasi dan ada tidaknya pergerakan volunter. Memeriksa sistem motorik harus dimahiri. Sebagian besar manifestasi objektif kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerak otot. Justru manifestasi objektif inilah yang merupakan bukti riil adanya suatu kelainan atau penyakit.
Telah dikemukakan bahwa : sindrom lower motor neuron mempunyai gejala : lumpuh, atoni, atrofi, dan arefleksi. Sindrom lower motor neuron didapatkan pada kerusakan di neuron motorik, neuraksis neuron motorik (misalnya saraf spinal, pleksus, saraf perifer), alat penghubung neuraksis dan otot (myoneural junction) dan otot. Sindrom upper motor neuron, yang dijumpai pada kerusakan sistem pyramidal, mempunyai gejala : lumpuh, hipertoni, hiper refleksi, dan klonus, serta refleks patologis. Kita ketahui pula bahwa kelumpuhan bukanlah merupakan kelainan yang harus ada pada tiap gangguan gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di system ekstrapiramidal dan serebelar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan.
Pada gangguan sistem ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus otot, gerakan otot abnormal yang tidak dapat dikendalikan, gangguan pada kelancaran gerakan otot volunter dan gangguan gerak-otot asosiatif.


Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak berupa gangguan sikap dan tonus. Selain itu, juga terjadi ataksia, dismetria, dan tremor intensi. (Tiga fungsi penting dari serebelum ialah keseimbangan, pengatur tonus otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunter).

Pemeriksaan
Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan :
1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Pemeriksaan gerakan pasif
4. Pemeriksaan gerakan aktif
5. Koordinasi gerakan

1. INSPEKSI
Pada inspeksi diperhatikan sikap, bentuk, ukuran, dan adanya gerak abnormal yang tidak dapat dikendalikan.

Sikap
Perhatikan sikap secara keseluruhan dan sikap tiap bagian tubuh. Bagaimana sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring, bergerak, dan berjalan.
Jika pasien berdiri, perhatikan sikap dan posisi badannya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pasien dengan gangguan serebelum berdiri dengan muka membelok ke arah kontralateral terhadap lesi, bahunya pada sisi lesi agak lebih rendah, dan badannya miring ke sisi lesi. Penderita penyakit Parkinson berdiri dengan kepala dan leher dibungkukkan ke depan, lengan dan tungkai berada dalam fleksi.

Bila ia jalan, tampaknya seolah-olah hendak jatuh ke depan; gerakan asosiatifnya terganggu, lengan kurang dilenggangkan, dan terlihat tremor kasar, terutama di tangan. Pada anak dengan distrofia muskulorum progresiva terlihat lordosis yang jelas; bila ia berjalan, panggul seolah-olah berputar dengan maksud agar berat badan berpindah ke tungkai yang sedang bertumpuh. Pada penderita hemiparese oleh gangguan sistem piramidal, lengan berada dalam sikap fleksi, sedangkan tungkai dalam ekstensi.
Bila ia berjalan, tungkai membuat gerak sirkumdiksi. Pada pasien dengan paraparese jenis sentral, cara berjalannya seperti gunting, yaitu tungkai seolah-olah menyilang. Penderita dengan gangguan di serebelumberjalan dengan kaki mengangkang, demikian juga penderita tabes dorsalis. Selain itu, penderita tabes dorsalis selalu melihat ke bawah memperhatikan kaki dan jalannya, sebab kalau tidak, ia akan jatuh. Pasien polineuritis berjalan seperti ayam, yaitu tungkai difleksikan tinggi-tinggi pada persendian lutut, supaya dapat mengangkat kakinya yang kurang mampu melakukan dorsofleksi.
Gerakan bagian tubuh perlu diperhatikan dan dibandingkan. Pada anak yang sedang meronta atau orang dewasa yang gelisah, bagian yang paretis terlihat kurang digerakkan.

Bentuk : Perhatikan adanya deformitas.
Ukuran
Perhatikan apakah panjang badan tubuh sebelah kiri sama dengan yang kanan. Orang dewasa yang mengalami lumpuh sejak masa kanak-kanak, ukuran ekstremitas yang lumpuh lebih pendek daripada yang sehat. Kemudian perhatikan besar (isi) kontur (bentuk) otot. Adakah atrofi atau hipertrofi. Perhatikan kontur (bentuk) otot. Pada atrofi besar otot berkurang dan bentuknya berubah. Kelumpuhan jenis perifer disertai oleh hipotrofi atau atrofi.
Perhatikan besarnya otot, bandingkan dengan otot sisi lainnya. Bila dicurigai adanya atrofi, ukurlah kelilingnya. Pengukuran dilakukan dengan menyebutkan tempat di mana dilakukan pengukuran. Biasanya digunakan tonjolan tulang sebagai patokan. Misalnya 3 cm di atas olekranon, atau patella atau tonjolan lainnya. Setelah itu perhatikan pula bentuk otot. Hal ini dilakukan dalam keadaan otot beristirahat dan sewaktu berkontraksi. Bila didapatkan atrofi, kontur biasanya berubah atau berkurang.
Pada keadaan pseudo-hipertrofi, ukuran otot tampak lebih besar, namun tenaganya kurang. Hal ini disebabkan karena jaringan otot diganti oleh jaringan lemak atau jaringan ikat. Hal ini didapatkan pada distrofia muskulorum progresiva, dan terjadi di otot betis dan gluteus.


Gerakan involuter (abnormal yang tidak terkendali)

Di antara gerakan abnormal yang tidak terkendali yang kita kenal ialah : tremor, khorea, atetose, distonia, balismus, spasme, tik, fasikulasi, dan miokloni.
Gerakan abnormal dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan keadaan. Gerakan abnormal merupakan kontraksi otot-otot volunteer yang tidak terkendali. Nilainya secara klinis dalam menentukan diagnosis dan lokalisasi penyakit saraf dapat sangat besar, oleh karenanya harus diamati dengan baik. Gerakan abnormal ini dapat mengenai tiap bagian tubuh. Ia timbul karena terlibatnya berbagai bagian sistem motorik, misalnya : korteks, serabut yang turun dari korteks, ganglia basal, batang otak dan pusat-pusatnya, serebelum dan hubungan-hubungannya, medulla spinalis, serabut saraf perifer, atau ototnya sendiri. Sifat gerakan dipengaruhi oleh letak lesi dan kelainan patologiknya. Lesi pada tempat yang berlainan kadang dapat menyebabkan gerakan yang identik, dan proses patologis yang berlainan pada tempat yang sama kadang dapat mengakibatkan bermacam bentuk gerakan abnormal.
Pada pemeriksaan gerakan abnormal kita harus mengobservasi penampilan klinisnya dan manifestasi visualnya, menganalisis pola gerakan dan melukiskan komponen-komponennya. Bila gerakan sesuai dengan gambaran klinik tertentu yang telah mempunyai nama, nama ini digunakan untuk gerakan tersebut, tetapi sebaiknya ditambah dengan melukiskan gerakan tersebut, daripada hanya memberi suatu nama saja. Kadang-kadang untuk mengetahui gerakan abnormal ini dibutuhkan palpasi, terlebih bila gerakannya sangat lemah dan terbatas pada sebagian dari kelompok otot.

Tremor.
Tremor ialah serentetan gerakan involunter, agak ritmis, merupakan getaran, yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang berlawanan secara bergantian. Ia dapat melibatkan satu atau lebih bagian tubuh. Jenis tremor yang perlu kita kenal ialah : tremor normal atau fisiologis; tremor halus (disebut juga tremor toksik) dan tremor kasar.
Tremor fisiologis didapatkan bila anggota gerak ditempatkan pada posisi yang sulit, atau bila kita melakukan gerakan volunteer dengan sangat lambat. Tremor yang terlihat pada orang normal yang sedang marah atau ketakutan merupakan aksentuasi dari tremor fisiologis ini.
Tremor halus dianggap juga sebagai tremor toksik. Contoh yang khas ialah tremor yang dijumpai pada hipertiroidi. Tremor ini terutama terjadi pada jari dan tangan. Kadang-kadang tremor ini sangat halus dan sukar dilihat. Untuk memperjelasnya, kita tempatkan kertas di atas jari-jari dan tampaklah kertas tersebut bergetar walaupun tremor belum jelas terlihat. Tremor toksik ini didapatkan pula pada keracunan nikotin, kafein, obat-obatan seperti adrenalin, efedrin, atau barbiturat.
Tremor kasar, salah satu contohnya ialah tremor yang didapatkan pada penyakit Parkinson. Ini merupakan tremor yang lambat, kasar, dan majemuk. Pada penyakit Parkinson, gerakan jari-jari mirip gerakan menghitung duit atau membuat pil (pill rolling tremor). Contoh lainnya adalah tremor intensi. Tremor intensi merupakan tremor yang timbul waktu melakukan gerakan volunter dan menjadi lebih nyata ketika gerakan hampir mencapai tujuannya. Tremor ini merupakan tremor kasar, dan dapat dijumpai pada gangguan serebellum. Pada tes tunjuk-hidung pada pasien dengan gangguan di serebelum, tremor menjadi lebih nyata pada saat telunjuk hampir mancapai hidung.



Khorea
Kata khorea berasal dari kata Junani yang berarti menari. Pada khorea gerak oto berlangsung cepat, sekonyong-konyong, aritmik, dan kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas, separuh badan atau seluruh badan. Hal ini dengan khas terlihat pada anggota gerak atas (lengan dan tangan), terutama bagian distal. Pada gerakan ini tidak didapatkan gerakan yang harmonis antara otot-otot penggerak, baik antar otot yang sinergis maupun antagonis. Bila pasien disuruh meluruskan lengan dan tangannya, kita dapatkan hiperekstensi pada falang proksimal dan terminal, dan pergelangan tangan berada dalam fleksi dengan sedikit dipronasikan. Hal ini menjadi lebih jelas bila pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas. Jari-jari tangan biasanya akan diregangkan, dan ibu jari diabduksikan dan terarah ke bawah.
Bila pasien disuruh menggenggam tangan pemeriksa, terasa bahwa tenaga genggaman tidak konstan (tidak tetap) melainkan berfluktuasi, terasa melemah kemudian menguat lagi dan seterusnya. Bila khorea melibatkan lidah, didapatkan kesukaran berbicara atau mengunyah. Jika penderitanya disuruh mengeluarkan lidah, hal ini dilakukannya secara mendadak dan kemudian ditariknya kembali.
Gerak khorea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan dua macam gerakan sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya ke atas sambil menjulurkan lidah. Gerakan khorea didapatkan dalam keadaan istirahat dan menjadi lebih hebat bila ada aktivitas dan ketegangan. Khorea menghilang bila penderitanya tidur. Gerakan khorea antara lain dijumpai pada penyakit khorea Sydenham, khorea Huntington, dan khorea gravidarum.
Atetose
Kata atetose berasal dari kata Yunani yang berarti berubah. Berlainan dari khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan terutama melibatkan bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan yang lebih lamban, seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal. Namun demikian hal ini cenderung menyebar juga ke proksimal. Atetosis dapat dijumpai pada banyak penyakit yang melibatkan ganglia basal.

Distonia
Bila terjadi kerusakan besar pada susunan ekstrapiramidal yang melibatkan beberapa komponen ganglia basal, didapatkan gejala yang kompleks. Hal ini dijumpai pada distonia muskulorum deformans, di mana didapatkan gerakan distonia. Biasanya distonia ini dimulai dengan gerak otot berbentuk atetose pada lengan atau anggota gerak lain, kemudian gerakan otot bentuk atetose ini menjadi kompleks, yaitu menunjukkan torsi yang keras dan berbelit. Gerakan torsi otot (memutar berbelit) terjadi juga pada otot leher dan punggung, sehingga didapatkan tortikolis dan tortipelvis. Gerak otot abnormal ini dapat mengakibatkan terjadinya skoliosis, pes ekuinovarus, pes valgus, dan kontraktur.

Balismus
Balismus (hemibalismus) ialah gerak otot yang datang sekonyong-konyong, kasar dan cepat, dan terutama mengenai otot-otot skelet yang letaknya proksimal; sedangkan pada khorea, gerak otot kasar, cepat, dan terutama melibatkan otot-otot yang agak distal.
Spasme
Spasmus merupakan gerakan abnormal yang terjadi karena kontraksi otot-otot yang biasanya disarafi oleh satu saraf. Spasme klonik mulai sekonyong-konyong, berlangsung sebentar dan dapat berulang-ulang. Spasme tonik dapat berlangsung lama dan terus menerus. Spasme klonik menyerupai kontraksi otot yang terjadi pada waktu faradisasi. Spasme dapat timbul karena iritasi saraf perifer atau otot, tetapi dapat juga timbul karena iritasi di suatu tempat, mulai dari korteks sampai ke serabut otot. Contoh dari spasme ialah trismus, rhisus sardonikus, dan hiccup. Trismus merupakan spasme tonik otot pengunyah, dan rhisus sardonikus adalah spasme tonik pada otot fasial.

Tik (tic)
Penyebab tik belum diketahui. Ada pakar yang menganggapnya sebagai suatu conditioned reflex, ada pula yang mengatakan bahwa faktor psikogen mempunyai peranan, dan pakar lainnya mengemukakan bahwa sistem ekstrapiramidal memainkan peranan pula. Tik merupakan suatu gerakan terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam hubungan yang sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan disebutkan sebagai spasme-kebiasaan (habit spasm).

Fasikulasi
Fasikulasi merupakan gerakan halus, cepat, dan berkedut dari satu berkas (fasikulus) serabut otot atau satu unit motorik. Satu unit motorik ialah satu sel neuron motorik, aksonnya serta semua serabut otot yang disarafinya. Gerak fasikulasi biasanya tidak menyebabkan gerakan pada persendian, kecuali bila fasikulasi terdapat di jari-jari. Dalam hal sedemikian kadang terjadi gerakan pada persendian.
Penyebab fasikulasi belum jelas benar; iritasi pada sel neuron motorik dapat menimbulkan fasikulasi. Adanya fasikulasi dapat dibuat lebih nyata dengan jalan memberikan rangsang mekanis pada otot tersebut, misalnya dengan pukulan.
Fasikulasi mempunyai nilai prognostik pada penyakit degeneratif yang melibatkan sel neuran motorik, misalnya ALS (sklerosis amiotrofik lateral). Makin banyak fasikulasi, makin cepat progresivitas penyakit. Kadang-kadang fasikulasi dijumpai pada orang yang normal. Dalam hal demikian, fasikulasi tidak disertai atrofi, Fenomena yang serupa (yang disebut miokimia) dapat menyebabkan kontraksi spasmodik m. orbikularis okuli, m. levator palpebra superior atau otot wajah lainnya. Hal ini merupakan keadaan yang benigna dan dapat dicetuskan oleh kelelahan atau kecemasan. Fasikulasi benigna dan miokimia sering menimbulkan rasa takut pada penderitanya, yang mengasosiasikannya dengan penyakit yang berat.

Mioklonik
Mioklonik ialah gerakan yang timbul karena kontraksi otot secara cepat, sekonyong-konyong, sebentar, aritmik, asinergik, dan tidak terkendali. Otot yang berkontraksi dapat meliputi sebagian dari satu otot, seluruh otot atau sekelompok otot-otot tanpa memandang asosiasi fungsional otot tersebut. Gerak mioklonia ini terutama didapatkan pada otot-otot ekstremitas dan badan, tetapi ia sering juga difus dan meluas, dan melibatkan otot muka, rahang, lidah, faring, dan laring. Ia timbul secara paroksismal, pada waktu yang tidak tertentu, baik pada saat istirahat maupun pada waktu sedang aktif. Namun demikian, ia dapat menjadi lebih hebat bila ada rangsang emosional, mental, taktil, visual, atau rangsang auditoar. Ia dapat berkurang bila ada gerakan volunter. Ia dapat timbul pada saat pasien hendak tertidur, dan biasanya menghilang bila sudah tertidur.
Gerakan miokloni dapat kecil sehingga tidak menyebabkan gerakan pada persendian, tetapi bila ia mengenai seluruh otot atau sekelompok otot, gerakannya dapat kuat sehingga mengakibatkan gerakan klonik pada ekstremitas. Gerakan dapat sedemikian hebat, sehingga satu anggota gerak seolah-olah terlempar dengan tiba-tiba atau dapat menyebabkan penderita tercampak jatuh.

2. PALPASI
Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya. Kemudian otot ini dipalpasi untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri-tekan. Dengan palpasi kita dapat menilai tonus otot, terutama bila ada hipotoni. Penentuan tonus dilakukan pada berbagai posisi anggota gerak dan bagian badan.

3. PEMERIKSAAN GERAKAN PASIF
Penderita disuruh mengistirahatkan ekstremitasnya. Bagian dari ekstremitas ini kita gerakkan pada persendiannya. Gerakan dibuat bervariasi, mula-mula cepat kemudian lambat, cepat, lebih lambat, dan seterusnya. Sambil menggerakkan kita nilai tahanannya. Dalam keadaan normal kita tidak menemukan tahanan yang berarti, jika penderita dapat mengistirahatkan ekstremitasnya dengan baik, terutama anak-anak, sehingga kita mengalami kesulitan menilai tahanan.
Kadang-kadang tahanan didapatkan pada satu jurusan saja, misalnya tungkai sukar difleksikan tetapi mudah diekstensikan. Keadaan ini misalnya didapatkan pada lesi di traktus piramidal. Jangan lupa membandingkan bagian-bagian yang simetris. Pada gangguan sistem ekstrapiramidal, dapat dijumpai tahanan yang sama kuatnya (rigiditas). Kadang-kadang dijumpai keadaan dengan tahanan hilang timbul (fenomen cogwheel).

4. PEMERIKSAAN GERAKAN AKTIF
Pada pemeriksaan ini kita nilai kekuatan (kontraksi) otot. Untuk memeriksa adanya kelumpuhan, kita dapat menggunakan 2 cara berikut :

1. Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan kita menahan gerakan ini.
2. Kita (pemeriksa) menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan.
Contoh cara 1 : Pasien disuruh memfleksikan lengan bawahnya dan kita menghalangi usahanya ini. Dengan demikian, dapat dinilai kekuatan otot biseps.
Contoh cara 2 : Kita (pemeriksa) ekstensikan lengan bawah pasien dan ia disuruh menghalangi (menahan) usaha ini. Dengan demikian, dapat dinilai kekuatan otot biseps.
Jadi dengan kedua cara tersebut di atas dapat dinilai tenaga otot. Dokter umumnya menggunakan cara 1, yaitu pemeriksa yang menahan. Bila pasien yang disuruh menahan, ditakutkan kekuatan yang dilakukan oleh dokter terlalu besar. Bila pasien lumpuh total, tidak sulit untuk memastikannya, namun bila ia lumpuh sebagian atau parsial, tidak mudah memastikan atau menilainya. Tenaga orang yang normal berbeda-beda. Misalnya, tenaga seorang atlit angkat besi jauh lebih kuat daripada tenaga seorang juru tulis. Tidak selalu mudah membedakan parese (lumpuh) ringan dari tidak ada parese. Kita mungkin mendapat pertolongan dari beberapa hal berikut yaitu :
1. Keluhan pasien (mungkin ia mengemukakan tenaganya berkurang).
2. Otot dibagian yang simetris tidak sama tenaganya.
3. Berkurangnya kelancaran gerakan. Parese ringan kadang-kadang ditandai oleh menurunnya kelancaran gerakan.
4. Didapatkan gejala lain, misalnya : arefleksi, atrofi, hiperrefleksi, dan refleks patologis.
Dalam praktek sehari-hari, tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka dari 0 – 5. (0 berarti lumpuh samasekali, dan 5 = normal).

0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot; lumpuh total.
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat (gravitas).
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan.
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal).

Contoh tenaga 2 : Pasien mampu menggeser tungkainya di tempat tidur, namun tidak mampu mengangkatnya (melawan gaya berat). Berdasarkan pengetahuan di atas dan dibantu oleh pengetahuan anatomi otot serta gerakan yang dilakukan otot tersebut, kita dapat menilai tenaga dari bermacam otot. Pada buku ini tidak mungkin diperbincangkan gerakan semua otot di badan. Pembaca dapat menggunakan buku anatomi mengenai otot. Di sini akan dikemukakan beberapa hal saja yang bermanfaat dalam praktek sehari-hari, yaitu pemeriksaan gerakan kepala, anggota gerak atas, badan, dan anggota gerak bawah.

Kepala
Perhatikan sikap kepala. Pada paralisis agitans (sindrom Parkinson), kepala ditekukkan ke depan; pada meningitis, penderita berbaring dengan kepala dikedikkan ke belakang; pada gangguan di serebelum, kepala terrotasi sedikit ke arah kontralateral dari lesi.
Periksa apakah ada tahanan jika kepala digerakkan secara pasif. Pada radang selaput otak didapatkan kaku kuduk. Pada tortikolis juga didapatkan tahanan, demikian juga pada spondilitis servikal. Gerakan aktif diperiksa dengan menyuruh pasien menekukkan kepala ke depan, ke belakang, ke samping kiri, dan kanan, serta melakukan gerakan rotasi. Pemeriksa menilai tenaganya, dan membandingkan tenaga gerakan ke kiri dan ke kanan.
Anggota gerak atas
Perhatikan apakah ada atrofi otot tenar, hipotenar, dan otot intrinsik tangan. Periksa gerakan jari-jari; bagaimana tenaga fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi. Periksa tenaga menggenggam. Hal ini dilakukan dengan menyuruh pasien menggenggam jari pemeriksa dan kemudian pemeriksa menarik lepas jari tersebut. Gerakan di pergelangan juga diperiksa, dan ditentukan tenaganya pada gerakan pronasi dan supinasi. Fleksi dan ekstensi pada persendian siku, juga diperiksa. Gerakan pada persendian bahu diperiksa dengan menyuruh pasien menggerakkan lengan yang diekstensi, pada bidang frontal dan sagital, dan juga melakukan rotasi pada persendian bahu. Selain itu, juga gerakan bahu ke atas, bawah, depan, dan ke belakang diperiksa. Setelah itu, periksalah otot pektoralis mayor, latisimus dorsi, seratus magnus, deltoid, biseps, dan triseps.

Deltoid.
Pasien disuruh mengangkat lengannya yang diluruskan ke samping sampai di bidang horizontal. Nilailah tenaganya waktu melakukan gerakan ini.

Biseps.
Lengan yang sudah disupinasi disuruh fleksi pada persendian siku. Nilailah tenaga fleksi lengan bawah ini.

Triseps.
Lengan bawah yang sudah difleksi disuruh ekstensikan. Nilailah tenaga ekstensi ini.
Badan
Erektor spina.
Bila pasien sedang berdiri, suruh ia mengambil suatu barang dari lantai. Jika pasien menderita kelemahan m. erector spina, ia sukar berdiri kembali; dan ini dilakukannya dengan bantuan tangannya, yaitu dengan menempatkan tangannya pada lutut, paha, dan kemudian mendorongnya sampai ia dapat berdiri lagi. Kadang terlihat juga adanya lordosis.
Otot dinding perut. Pasien yang sedang berbaring disuruh mengangkat kepalanya dan perhatikan peranjakan dari pusar. Biasanya pusar beranjak ke arah otot yang sehat. Suruh pasien batuk, otot yang lemah akan membonjol. Perhatikan apakah pasien dapat duduk dari sikap berbaring tanpa mendapat bantuan dari tangannya. Otot yang ikut bekerja dalam hal ini ialah otot dinding perut dan otot iliopsoas.

Anggota gerak bawah
Untuk ini diperiksa gerakan pada : persendian jari-jari, pergelangan kaki, lutut, paha. Selain itu juga diperiksa otot kuadriseps femoris, iliopsoas, aduktor, abductor, dan fleksor tungkai bawah.
Kuadriseps femoris. Lutut (tungkai bawah) diekstensikan sambil kita tahan.
Iliopsoas. Pasien berbaring dan lutut difleksikan. Kemudian paha difleksikan lebih lanjut sambil ditahan.
Otot aduktor. Pasien berbaring pada sisinya dan tungkai berada dalam ekstensi. Kemudian tungkai ini diaduksikan sambil ditahan.

Otot abduktor. Tungkai diabduksikan melawan tahanan.
Fleksor tungkai bawah. Tungkai bawah difleksikan sambil ditahan.
Dengan demikian dapat pula dinilaiotot-otot yang memplantarfleksikan dan mendorsofleksikan kaki dan jari-jari. Bila ditemukan kelumpuhan, perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan untuk maksud ini perlu dirujuk buku anatomi mengenai otot.


5. PEMERIKSAAN KOORDINASI GERAKAN
Koordinasi gerak terutama diatur oleh serebelum. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gangguan utama dari lesi di serebelum ialah adanya dissinergia, yaitu kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan gerakan yang membutuhkan kerjasama antar otot, maka otot-otot ini tidak bekerja sama secara baik, walaupun tidak didapatkan kelumpuhan. Hal ini terlihat jika pasien berdiri, jalan, membungkuk, atau menggerakkan anggota badan. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada dissinergia ini, yaitu : gangguan gerakan dan dismetria.
Selain itu, serebelum ikut berpartisipasi dalam mengatur sikap, tonus, mengintegrasi, dan mengkoordinasi gerakan somatik. Lesi pada serebelum dapat menyebabkan gangguan sikap dan tonus, dissinergia atau gangguan koordinasi gerakan (ataksia). Gerakan menjadi terpecah-pecah, dengan lain perkataan : kombinasi gerakan yang seharusnya dilakukan secara simultan (sinkron) dan harmonis, menjadi terpecah-pecah dan dilakukan satu per satu serta kadang simpang siur. Dissinergia ialah kehilangan kemampuan untuk melakukan gerakan majemuk dengan tangkas, harmonis, dan lancar.
Gejala klinis yang kita dapatkan pada gangguan serebelar ialah adanya: gangguan koordinasi gerakan (ataksia), disdiadokhokinesia, dismetria, tremor intensi, disgrafia (makrografia), gangguan sikap, nistagmus, fenomena rebound, astenia, atonia, dan disartria.

Dismetria
Dismetria pada gerakan, yaitu gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada waktunya atau tepat pada tempat yang dituju. Sering kita jumpai adanya hipermetria, yaitu melampaui tujuan; tetapi sesekali didapatkan juga adanya hipometria, yaitu gerakan berhenti sebelum sampai pada tujuan, yang disebabkan karena pasien takut melampaui tujuannya.

Gangguan Gerakan
Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerjasama antar otot. Pada orang normal, bila ia mengedik ke belakang, pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut (tungkai) nya untuk menjaga keseimbangan. Akan tetapi, pada penderita gangguan serebelar, saat mengedikkan badannya ke belakang, ia selalu menegangkan tungkainya, sehingga ia berada dalam bahaya akan jatuh. Selain itu, gangguan koordinasi gerakan dapat diketahui dengan melihat adanya disdiadokokinesia.

Disdiadokokinesia.
Hal ini merupakan ketidakmampuan melakukan gerakan yang berlawanan berturut-turut. Suruh pasien merentangkan kedua lengannya ke depan, kemudian suruh ia mensupinasi dan pronasi lengan bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat. Pada sisi lesi, gerakan ini dilakukan lamban dan tidak tangkas.

Tremor intensi.
Tremor intensi ialah tremor yang timbul bila melakukan gerak volunter (dengan kemauan), dan menjadi lebih nyata bila menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan jalan menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda tersebut, makin jelas tremor pada tangannya.
Pada dismetria, luas, jalan, serta cepatnya gerakan tidak adekuat. Penderita seolah-olah mengingkari dalil yang mengatakan bahwa jarak yang terpendek antara dua titik ialah satu garis lurus. Hipermetria terlihat bila ia berjalan, dalam hal ini gerakan kaki ke atas dan ke bawah berlebihan. Selain itu, bila ia disuruh melakukan suatu gerakan, maka gerakan ini melampaui tujuannya. Hipermetria ini terutama menyatakan diri dalam adanya kecenderungan untuk hiperfleksi. Anggota gerak bawah lebih banyak terkena daripada anggota gerak atas. Gangguan serebelum dapat diperiksa dengan berbagai cara yaitu : percobaan tunjuk hidung, percobaan jari-jari, percobaan tumit lutut, dan pemeriksaan tentang adanya disgrafia.

Percobaan tunjuk-hidung. Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya ke samping, kemudian ia disuruh menyentuh hidungnya dengan telunjuk. Pada lesi serebelar telunjuk tidak sampai di hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menunjuk telunjuk pemeriksa, kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang.

Percobaan jari-jari. Penderita disuruh merentangkan kedua lengannya ke samping sambil menutup mata. Ia kemudian disuruh mempertemukan jari-jarinya di tengah depan. Lengan di sisi lesi akan ketinggalan dalam gerakan ini, dan mengakibatkan jari sisi yang sehat melampaui garis tengah.

Percobaan tumit-lutut. Penderita berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian ia disuruh menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut. Terlihat pasien mengadakan fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut dan sampai di paha.

Disgrafia. Hal ini biasanya dalam bentuk makrografia. Karena ada dismetria dalam bentuk hipermetria, terlihat huruf dituliskan besar-besar dan kadang makin lama makin besar. Selain itu, bentuk hurufnyapun tidak bagua dan kaku.

Tes gangguan fungsi serebelar terutama didasarkan atas adanya dissinergia, yang berupa gangguan gerakan dan hipermetria. Perlu rasanya diketahui bahwa gejala gangguan serebelar sering makin lama makin berkurang atau menghilang. Hal ini disebabkan karena ada kompensasi atau karena pusat-pusat lain di otak mengambil alih tugas serebelum ini. Hal demikian jarang dijumpai pada kerusakan sistem lainnya. Jadi, walaupun kita menjumpai gejala gangguan serebelar pada masa akut, hal ini mungkin berkurang atau tidak ada lagi pada lesi yang sudah lama.

Sikap
Pada lesi serebelar yang unilateral, didapatkan deviasi kepala dan badan ke sisi lesi dan terdapat pula salah-tunjuk (past pointing) ke arah lesi. Bila pasien berdiri, badan cenderung jatuh ke arah lesi. Bila ia berjalan, tungkai diangkat secara berlebihan, lengan kurang dilenggangkan, dan jalannya berdeviasi ke sisi lesi. Pada lesi serebelum bagian tengah (vermis), pasien tidak dapat berdiri tegak (lurus), ia akan jatuh ke depan atau belakang.

Nistagmus
Nistagmus dapat disebabkan oleh lesi di traktus vestibuloserebelar, vermis, atau pedunkulus serebeli inferior. Ia dapat juga disebabkan oleh rusaknya hubungan antara serebelum dengan pusat-pusat lain atau lesi serebelum sendiri. Nistagmus dapat pula disebabkan oleh terganggunya koordinasi otot-otot mata, jadi merupakan asinergia serebeli. Sikap bola mata yang seharusnya tetap bila ia difiksasi pada satu jurusan menjadi berubah-ubah, yaitu bola mata bergerak secara spontan cepat ke arah fiksasi, lalu kembali secara spontan lambat ke posisi semula, kemudian bergerak lagi ke tempat fiksasi, kembali lagi ke posisi semula dan seterusnya bolak-balik. Hal ini disebut nistagmus (gerak ritmik bola mata). Untuk memeriksanya, mata pasien disuruh mengikuti jari pemeriksa yang digerakkan ke samping kiri, kanan, atas, dan bawah. Perhatikan adanya nistagmus dan tentukan apakah ada komponen lambat dan cepat.

Fenomena rebound
Pada gangguan serebelar, fenomena rebound berarti tidak mampu menghentikan gerakan tepat pada waktunya. Dalam hal ini, penderita disuruh meluruskan lengannya. Kemudian ia disuruh menarik tangannya ke arah bahunya atau hidung sambil kita halangi (berikan tahanan). Bila tahanan kita lepas secara mendadak, gerakan fleksi ini tidak segera berhenti dan tangan akan memukul bahu atau mukanya dengan keras. Jadi, terlihat ketidakmampuan menghentikan gerakan dengan segera atau menggantikannya dengan antagonisnya.

Astenia. Astenia adalah lekas lelah dan bergerak lamban. Hal ini juga merupakan gejala dari gangguan serebelar. Otot lekas lelah dan lemah (walaupun tidak ada parese). Gerakan dimulai dengan lamban, demikian juga dengan kontraksi dan relaksasi.

Hipotonia
Adanya hipotonia dapat diketahui dengan jalan palpasi dan pemeriksaan gerak pasif. Pada hipotonia, ekstensi dapat dilakukan lebih jauh, misalnya pada persendian paha, siku, lutut, dsbnya. Hipotonia dapat pula terlihat pada persendian, yaitu bertambah lamanya bagian anggota gerak bergoyang, jika kita goyangkan bagian proksimal dari persendian tersebut. Misalnya pasien disuruh melemaskan tangannya dan kita pegang lengan bawah dan goyang-goyangkan, terlihat goyangan tangan yang lebih lama (pendulousness); atau bahu dipegang dan digoyangkan, sedang lengan disuruh lemaskan goyangan lengan akan lebih lama.
Tes mengenai gangguan serebelar masih banyak lagi, namun bila pemeriksaan tersebut di atas dilakukan dengan baik, maka hal ini sudah memadai.


SISTEM SENSORIK (sensibilitas, perasaan)

Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika ia tidak tahu adanya bahaya yang mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan jalan melihat, mendengar, mencium, dan merasakan rasa-nyeri, rasa-raba, rasa-panas, rasa-dingin, dan sebagainya. Inilah yang disebut sistem sensorik. Sistem sensorik menempatkan manusia berhubungan dengan sekitarnya. Sensasi (sensibilitas) dapat dibagi 4 jenis, yaitu : superficial, dalam, viseral (interoseptif) dan khusus.
Sensasi superfisial, disebut juga sebagai perasaan eksteroseptif atau protektif, mengurus rasa-raba, rasa-nyeri, rasa-suhu. Sensasi dalam, yang disebut juga sebagai sensasi proprioseptif mencakup rasa gerak (kinetik), rasa sikap (statognesia) dari otot dan persendian, rasa getar (pallesthesia), rasa tekan-dalam, rasa nyeri-dalam otot. Sensasi visceral (interoseptif) dihantar melalui serabut otonom aferen dan mencakup rasa lapar, enek, dan rasa-nyeri pada visera. Sensasi khusus, yaitu menghidu, melihat, mendengar, mengecap, dan keseimbangan diatur oleh saraf-otak tertentu.

Anatomi dan Fisiologi
Dari reseptor di perifer sampai ke korteks sensorik di otak jalur sensorik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 tingkatan neuron. Impuls (rangsang) berjalan secara sentripetal dari reseptor di perifer ke badan sel neuron tingkat pertama (primer) di ganglion akar dorsal dan saraf spinal. Aksonnya menuju ke sentral, bersinaps dengan neuron tingkat dua (sekunder) di kornu posterior medulla spinalis atau inti homolog di batang otak. Akson neuron sekunder melintasi garis tengah dan menuju pada sisi sebelahnya (kontralateral), kemudian naik sebagai jaras spinotalamik atau lemniskus medialis menuju ke sinaps berikutnya di talamus. Neuron di talamus, biasanya berupa neuron tingkat tiga (tersier) terletak di kompleks ventrobasal talamus dan berproyeksi melalui kaki posterior kapsula interna ke korteks sensorik di girus postsentral (area Brodmann 3 – 1 – 2). Pola dasar ini mengemukakan beberapa hal :
1. Sistem sensorik menyilang. Informasi sensorik dari separuh badan berproyeksi ke talamus dan korteks kontralateral.
2. Neuron tingkat pertama berada di ganglion akar dorsal.
3. Badan sel neuron tingkat dua berada di kornu posterior medulla spinalis atau di inti homolog di medulla oblongata seperti nukleus grasilis (yang menerima impuls dari tungkai) dan kuneatus (yang menerima impuls dari lengan).
4. Neuron tingkat tiga di talamus me-relay impuls ke korteks.

Reseptor
Reseptor merupakan sel-sel khusus untuk mendeteksi perubahan khusus pada lingkungannya. Eksteroseptor mencakup reseptor yang terlibat terutama pada lingkungan eksternal yaitu : korpuskel (badan) Meissner, korpuskel Merkel, sel rambut untuk rasa raba; bulbus Krauss untuk rasa dingin; korpuskel Ruffini untuk rasa panas; dan ujung-saraf bebas untuk rasa nyeri. Banyak hasil penelitian yang mengimplikasikan bahwa sensasi tertentu dihantar oleh ujung tertentu, namun dengan banyak perkecualian. Misalnya, kornea mata di mana hanya ditemukan ujung-saraf bebas, namun rasa raba, nyeri, panas, dan dingin dapat diapresiasi. Reseptor tidak khusus (spesifik) terhadap sensasi tertentu; misalnya rangsang yang kuat dapat mengakibatkan berbagai sensasi, juga nyeri, walaupun rangsang pencetusnya tidak harus nyeri. Stimulasi yang berlebihan pada tiap ujung sensorik, terlebih bila bersifat melukai (noxious) akan menginduksi rasa nyeri.
Hubungan manusia dengan dunia luar terjadi melalui reseptor sensorik yang dapat berupa :
1. Reseptor eksteroseptif, yang ber-respons terhadap stimulus dari lingkungan eksternal, termasuk visual, auditor, dan taktil.
2. Reseptor proprioseptif, misalnya yang menerima informasi mengenai posisi bagian tubuh atau tubuh di ruangan.
3. Reseptor interoseptif, mendeteksi kejadian internal seperti perubahan tekanan darah.

Sistem sensorik somatik menerima informasi primer dari reseptor eksteroseptif dan proprioseptif. Didapatkan 4 sub-kelas mayor dari sensasi somatik, yaitu :
1. Sensasi nyeri yang dicetuskan oleh rangsang yang dapat mencederai (noxious).
2. Sensasi suhu (termal), terdiri dari rasa panas dan rasa dingin.
3. Rasa (sensasi) sikap, dicetuskan oleh perubahan mekanis di otot dan persendian, dan mencakup rasa sikap anggota gerak serta gerakan anggota gerak (kinestesia).
4. Sensasi (rasa) tekan, dicetuskan oleh stimulasi mekanis yang diberikan pada permukaan tubuh.
Gangguan perasaan dapat disebabkan oleh gangguan pada reseptor, konduksi saraf, serabut saraf, traktus atau daya persepsi.

Pemeriksaan
Pemeriksaan sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah. Kita bergantung kepada perasaan penderita, jadi bersifat subjektif. Selain itu, reaksi seseorang terhadap rangsangan dapat berbeda-beda, malah pada satu orangpun reaksi tersebut dapat berbeda, tergantung pada keadaannya, apakah ia sedang lelah, atau pikirannya terpusat pada hal yang lain. Faktor sugesti juga dapat berpengaruh. Tidak jarang pasien meng-ia-kan saja apa yang disugestikan oleh dokter (mungkin agar bersikap sopan). Misalnya, bila seorang dokter mengajukan pertanyaan yang bernada sugesti seperti : “Kan di sini terasa sakit bila saya tusuk dan di tempat ini agak kurang sakitnya, bukan !?” Pertanyaan demikian mungkin di “ya” kan saja oleh pasien. Jadi, sugesti harus dihindarkan pada pemeriksaan sensibilitas.
Agar didapat hasil pemeriksaan yang baik perlu diperhatikan hal berikut : Selama pemeriksaan diupayakan agar pasien berada dalam keadaan tenang dan perhatiannya dapat dipusatkan pada pemeriksaan. Untuk maksud ini sebaiknya penderita memejamkan mata. Bila pasien merasa lelah sebaiknya pemeriksaan ditangguhkan. Namun demikian, kadang-kadang kita terpaksa melakukan pemeriksaan dalam keadaan pasien yang tidak tenang; pemeriksaan yang dilakukan secara kasar ini nilainya kurang teliti.

Pemeriksaan Sensibilitas
Sebelum kita melakukan pemeriksaan kita tanyakan dulu apakah ada keluhan mengenai sensibilitas. Bila ada suruh ia menunjukkan tempatnya (lokalisasinya). Dari bentuk daerah yang terganggu dapat diduga apakah gangguan bersifat sentral, perifer, atau berbentuk dermatom. Daerah kulit yang disarafi oleh akar posterior dan ganglionnya disebut dermatom. Pada pasien histeri daerah yang terganggu tidak sesuai dengan pola anatomik, umumnya batas gangguan amat tegas, sering berbentuk kaus dan melibatkan seluruh jenis sensibilitas.
Perlu ditanyakan jenis gangguan, intensitasnya, apakah hanya timbul pada waktu-waktu tertentu, misalnya nyeri kalau dingin; dan juga faktor-faktor yang dapat mencetuskan kelainan ini. Waktu melakukan pemeriksaan perhatikan daerah-daerah kulit yang kurang merasa, sama sekali tidak merasa atau daerah yang bertambah perasaannya. Bertambahnya perasaan dapat disebabkan oleh iritasi pada reseptor atau serabut saraf atau karena fenomena pelepasan (release). Kata disestesia digunakan untuk menyatakan adanya perasaan yang berlainan dari rangsang yang diberikan, misalnya bila pasien diraba ia merasa seolah-olah dibakar atau semutan. Kata parestesia merupakan perasaan abnormal yang timbul spontan, biasanya ini berbentuk rasa-dingin, panas, semutan, ditusuk-tusuk, rasa-berat, rasa ditekan atau rasa gatal.
Pada pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif, perlu diperiksa rasa raba, rasa nyeri, dan rasa suhu.
Pemeriksaan rasa raba. Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris. Thigmestesia berarti rasa raba halus. Bila rasa raba ini hilang disebut thigmanesthesia.
Pemeriksaan rasa nyeri. Rasa nyeri dapat dibagi atas rasa-nyeri-tusuk dan rasa-nyeri-tumpul; atau rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lamban. Bila kulit ditusuk dengan jarum kita rasakan nyeri yang mempunyai sifat tajam, cepat timbulnya dan cepat hilangnya. Nyeri serupa ini disebut nyeri-tusuk. Rasa nyeri yang timbul bila testis dipijit, timbulnya tidak segera dan lenyapnya lama sesudah dipijit. Ini disebut nyeri-lamban.
Reseptor rasa-nyeri tidak mempunyai bentuk tertentu dan terdiri dari serabut-serabut saraf yang tidak berselubung. ia terdapat pada epidermis kulit dan pada selaput lendir. Pada beberapa tempat jumlah serabut-serabut ini lebih berdekatan daripada di tempat lain. Di lidah, bibir, kemaluan dan ujung jari serabut-serabut ini lebih berdekatan daripada di lengan atas, pantat dan badan. Hal ini mengakibatkan daerah lidah, bibir dan ujung jari menjadi lebih perasa.
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk dengan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia.
Dalam praktek sehari-hari pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan jarum atau peniti. Tusukan hendaknya cukup keras sehingga betul-betul dirasakan rasa-nyeri dan bukan rasa-disentuh atau rasa-raba. Sebelumnya perlu diberitahukan kepada pasien bahwa yang diperiksa ialah rasa-nyeri dan bukan rasa-raba. Kita periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian yang simetris dibandingkan. Bila bagian yang simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat.
Bila kita memeriksa sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak menurun kesadarannya, maka pemeriksaan rasa-tusuk masih dapat dilakukan, sedang yang lainnya (rasa raba, rasa suhu) perlu ditangguhkan. Pada anak, pemeriksaan ini yang biasanya dilakukan dan kita nilai dari reaksi atau tangisan si anak (bayi).
Pemeriksaan rasa suhu. Ada dua macam rasa-suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rangsangan rasa-suhu yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan "dingin" atau "panas" bila dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20o derajat Celsius, dan untuk panas yana bersuhu 40 - 50 C. Suhu yang kurang dari 5 C dan yang lebih tinggi dari 50 C dapat menimbulkan rasa-nyeri.
Kepekaan bagian-bagian tubuh terhadap rangsang suhu tidak sama. Bagian dari badan dan bagian proksimal ekstremitas biasanya kurang peka terhadap rasa-dingin, bila dibandingkan dengan bagian distal ekstremitas.
Pada pemeriksaan rasa-suhu diperiksa seluruh tubuh dan dibandingkan bagian-bagian yang simetris. Bagian yang simetris ini harus diusahakan agar berada dalam kondisi yang sama, misalnya bagian tersebut harus sama-sama baru dibuka dari penutupnya (pakaian). Jangan yang satu sudah lama terbuka sedang yang satu lagi baru saja dibuka penutupnya.
Perubahan rasa-suhu dinyatakan dengan kata anestesia-suhu (therm-anesthesia tidak merasa), hipestesia-suhu (therm-hypesthesia, kurang merasa), atau hiperestesia-suhu (therm-hyperesthesia, lebih merasa); dan ditambahkan kata dingin atau panas. Kadang-kadang selain memeriksa kemampuan penderita untuk membedakan rasa dingin dan panas, perlu juga ditentukan sampai berapa derajat yang masih dapat dibedakannya. Biasanya orang normal dapat membedakan suhu yang berbeda 2 sampai 5 derajat Celsius, tetapi makin tinggi atau makin rendah suhu yang digunakan, dibutuhkan perbedaan yang lebih besar supaya dapat dibedakan. Dalam praktek sehari-hari sudah cukup bila pasien dapat membedakan rangsang dingin dan panas.
Hipestesia-suhu terhadap rasa-dingin sering dijumpai pada lesi talamik.
Rasa-gerak dan rasa-sikap. Rasa-gerak juga disebut sebagai rasa-kinetik. Rasa-gerak dirasakan saat tubuh atau bagian tubuh digerakkan secara aktif atau pasif; Jadi, rasa gerak merupakan rasa bahwa seseorang tahu bagian dari tubuhnya digerakkan. Pada rasa-sikap atau rasa-posisi, seseorang tahu bagaimana sikap tubuh atau bagian dari tubuh.
Pada hakekatnya rasa-gerak dan rasa-sikap adalah majemuk.' Pengetahuan tentang sikap bagian tubuh kita pada suatu waktu merupakan1 hasil integratif dari impuls yang datang dari berbagai reseptor. Impuls ini disalurkan ke sentral melalui susunan funikulus dorsalis dan selanjutnya ke talamus oleh susunan lemniskus medialis.
Rasa getar. Ada pakar yang berpendapat bahwa rasa-getar terjadi karena suatu rangsang (impuls) tekan pada reseptor-mekanis yang terletak agak dalam dan dangkal, yang terjadi secara bergantian. Anggapan ini dilandasi atas pengalaman klinik bahwa pada lesi saraf perifer, rasa-getar dan rasa-raba kasar dan halus selalu bersama-sama terganggu.
Rasa-raba-kasar, rasa-tekan. Rasa-raba-kasar di dalam praktek disamakan dengan rasa-tekan. Penghantaran stimulusnya diurus oleh serabut susunan funikuli dorsales.
Rasa-nyeri-dalam. Tekanan yang keras menimbulkan rasa-nyeri-dalam yang sulit di lokalisasi dengan tepat, rinci dan tidak mempunyai batas yang tegas. Reseptornya tidak mempunyai bentuk yang khas. Ujung-ujung saraf yang tidak berselubung yang berada di jaringan ikat, otot dan tulang, di anggap merupakan reseptor impuls rasa-nyeri-dalam. Berbeda dari modalita sensibilitas lain daripada rasa proprioseptif, penghantaran impuls rasa-nyeri-dalam ke sentral tidak melalui funikulus dorsalis, tetapi melalui susunan spinotalamik tak langsung yang terletak di funikulus anterolateralis.


Pemeriksaan rasa-gerak dan rasa-sikap.
Biasanya rasa-gerak dan rasa-posisi diperiksa bersamaan. Ini dilakukan dengan menggerakkan jari-jari secara pasif dan menyelidiki apakah pasien dapat merasakan gerakan tersebut serta mengetahui arahnya (gambar 7-8). Juga diselidiki derajat gerakan terkecil yang masih dapat dirasakannya. Pada orang normal ia sudah merasakan arah gerakan bila sendi-interfalang digerakkan sekitar dua derajat atau 1 mm. Selain itu, juga diselidiki apakah ia tahu posisi dari jari-jarinya.
Pada gangguan yang ringan yang pertama terganggu ialah rasa posisi jari, kemudian rasa-gerak.
Selanjutnya, pada pemeriksaan rasa-gerak dan rasa-sikap ini kita gerakkan bagian dari ekstremitas penderita. la disuruh mengatakan pada posisi apa ekstremitasnya kita tempatkan. Selama pemeriksaan, mata pasien dipejamkan atau ditutup. Badan dan ekstremitas diistirahatkan dan dilemaskan. Semua gerakan volunter dihindarkan. Waktu kita meng-gerakkan bagian ekstremitas pasien, misalnya jari kaki, kita harus memegang jari-jarinya pada bagian lateral, Tujuannya ialah agar pasien tidak dapat menggunakan rasa eksteroseptifnya (rasa raba halus) untuk mengetahui arah gerakan tersebut. Jari yang diperiksa diupayakan agar tidak bersentuhan dengan jari lainnya, karena hal ini dapat dimanfaatkan pasien untuk mengetahui arah gerakan dari sentuhan, apabila rasa-geraknya terganggu. Pasien juga dilarang menggerakkan jarinya secara aktif, sebab hal ini dapat pula menolongnya untuk mengetahui posisi jarinya. Sambil memperhatikan hal yang tersebut di atas, kemudian pasien disuruh mengatakan "ya" bila ia merasakan suatu gerakan, kemudian ia disuruh pula mengatakan ke arah mana gerakan tersebut, "atas" atau "bawah". Rasa-gerak dan rasa posisi ini dapat pula diperiksa dengan jalan menempatkan jari penderita pada suatu posisi, kemudian ia disuruh mengatakan posisi dari jari tersebut atau ia disuruh menempatkan jari sisi lainnya seperti posisi jari yang kita periksa. Gerakan yang terkecil yang masih dapat dirasakan ialah sekitar dua derajat.
Dalam praktek sehari-hari biasanya kita hanya memeriksa rasa gerak dan rasa-sikap pada jari-jari. Namun demikian, bila dijumpai gangguan, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan pada bagian badan lainnya yang lebih besar, misalnya tangan dan kaki. Kaki kita gerakkan secara pasif dan dengan mata tertutup pasien disuruh menunjukkan di mana letak ibu jari atau tumitnya; atau satu lengan kita tempatkan secara pasif pada satu posisi tertentu, kemudian dengan mata tertutup pasien disuruh menempatkan lengan yang lainnya pada sikap yang sama; atau satu tangan kita gerakkan secara pasif, kemudian dengan mata tertutup ia disuruh memegang ibu-jari tangan tersebut dengan tangan lainnya.
Beberapa tes untuk memeriksa ataksia, misalnya tes tunjuk-hidung (tangan menunjuk hidung) dan tes tumit-lutut (tumit ditempatkan pada lutut yang satu lagi), bila tes tersebut dilakukan dengan mata tertutup merupakan tes rasa gerak dan sikap. Rasa-gerak dan rasa-sikap dapat pula diperiksa dengan memperhatikan bagaimana pasien bergerak dan berjalan. Seseorang yang menderita gangguan rasa-gerak dan rasa-sikap pada ekstremitas bawah tidak mengetahui bagaimana sikap kaki atau badannya. Misalnya, pasien tabes dorsalis mampu berdiri dengan sikap tegak yang baik bila matanya terbuka (ia melihat), namun jika matanya ditutup ia akan ter huyung dan kemudian jatuh; hal ini disebabkan oleh gangguan pada rasa-sikap. Pada pemeriksaan Romberg, kita katakan bahwa tanda Romberg positif bila seseorang mampu berdiri dengan kedua kaki rapat dan mata terbuka, namun bila matanya ditutup ia akan terhuyung dan jatuh. Tanda Romberg positif merupakan salah satu gejala dini dari tabes dorsalis.
Pemeriksaan rasa getar. Pemeriksaan rasa-getar biasanya dilakukan dengan jalan menempatkan garputala yang sedang bergetar pada ibu jari kaki, maleolus lateral dan medial kaki, tibia, spina iliaka anterior superior, sakrum, prosesus spinosus vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius dan ulna dan jari-jari.
Sebelumnya perlu dijelaskan kepada pasien bahwa kita akan memeriksa rasa-getar, dan bukan rasa-raba yang ditimbulkan oleh ditempatkannya garputala atau bunyi garpu tala tersebut.
Biasanya garpu tala yang digunakan berfrekuensi 128 Hz. Garpu tala kita ketok dan ditempatkan pada ibu jari kaki atau tulang maleolus. Pasien ditanya apakah ia merasa getarannya; dan ia disuruh memberitahukan bila ia mulai tidak merasakan getaran lagi. Bila getaran mulai tidak dirasakan, garpu tala kita pindahkan ke pergelangan atau sternum atau klavikula atau kita bandingkan dengan jari kaki kita sendiri. Dengan demikian, kita dapat memeriksa adanya rasa-getar, dan sampai berapa lemah masih dapat dirasakan, dengan jalan membandingkan dengan bagian lain dari tubuh atau dengan rasa-getar pemeriksa.
Pada penyakit yang melibatkan kolumna posterior, rasa-getar lebih dulu terganggu atau menghilang pada ekstremitas bawah daripada ekstremitas atas. Berkurangnya rasa getar kadang merupakan gejala dini dari tabes dorsalis. Untuk menyatakan hilangnya rasa-getar dapat digunakan kata : pallanesthesia.
Pemeriksaan rasa-raba-kasar (rasa tekan). Rasa-raba-kasar atau rasa-tekan diperiksa dengan jalan menekan dengan jari atau benda tumpul pada kulit, atau dengan jalan memencet otot tendon dan serabut saraf (jangan terlalu kuat, karena akan terasa rasa-nyeri). Kemudian, pasien disuruh memberitahu apakah ia merasakan tekanan tersebut, dan diminta menentukan tempat (lokasinya).
Kata piesthesia digunakan untuk menyatakan adanya rasa-tekan.
Kata baresthesia kadang digunakan untuk rasa-tekan atau rasa-berat. Kata ini perlu dibedakan dari kata barognosia yang berarti mengenal serta mampu membedakan berat.
Pemeriksaan rasa-nyeri-dalam. Rasa-nyeri-dalam diperiksa dengan jalan memencet otot atau tendon, menekan serabut saraf yang terletak dekat permukaan dan juga dengan memencet testes atau biji-mata.
Dalam praktek sehari-hari hal ini dilakukan sebagai berikut:
Kita pencet otot lengan atas, lengan bawah, paha, betis dan tendon Achilles. Perhatikan apakah pasien peka terhadap rangsang nyeri-dalam ini. Juga ditekan biji mata, laring, epigastrium dan testes.
Rasa-nyeri-dalam menghilang pada stadium dini tabes dorsalis. Menghilangnya rasa-nyeri-dalam dalam hal ini bukanlah karena rusaknya funikulus dorsalis, melainkan karena perubahan patologik pada ganglion spinalis (dorsal root ganglia). Sebelum rasa-nyeri-dalam menghilang, biasanya terlebih dahulu didapatkan reaksi-nyeri yang terlambat (delayed pain reaction), baik bagi rasa-nyeri-superfisial maupun bagi rasa-nyeri-dalam. Dalam hal demikian, timbulnya reaksi terhadap rangsang nyeri tidak segera terjadi setelah diberikan rangsang, tetapi beberapa saat kemudian.
Saraf yang terletak di permukaan diperiksa juga rasa-nyeri tekannya. Pada neuritis, ini dapat menjadi lebih peka terhadap nyeri-tekan. Pada penyakit kusta, selain meningkatnya rasa-nyeri-tekan, saraf bertambah besar. Dalam hal demikian, perlu di raba sarafnya, untuk mengetahui besarnya serta kemungkinan adanya benjolan-benjolan. Biasanya kita periksa nervus ulnaris, nervus peroneus, nervus aurikularis magnus dan nervus supraorbitalis. Pemeriksaan rasa-nyeri-tekan ini dapat pula dilakukan dengan jalan mengetok enteng saraf tersebut.
Rasa Interoseptif
Rasa-interoseptif ialah perasaan dari visera (organ dalam tubuh), yaitu rasa yang timbul dari organ-organ internal. Seorang pasien mungkin mengemukakan gangguan perasaan berupa rasa nyeri, mules atau kembung. Misalnya usus mules, perut kembung, kandung kencing serasa penuh. Nyeri viseral ini biasanya difus, tidak tegas lokalisasinya. Pada pemeriksaan neorologi rasa interoseptif ini sukar dievaluasi dan sukar diperiksa. Selain lokalisasinya yang difus, kita tidak dapat melakukan tes pada organ yang letaknya di dalam tubuh.
Nyeri Rujukan ,
Nyeri rujukan (referred pain) perlu diketahui. Bersamaan dengan nyeri interoseptif yang diderita seorang pasien, ia mungkin pula mengalami nyeri somatik, yang mempunyai asal yang reflektoris. Nyeri somatik ini disebut referred pain (nyeri rujukan) dan biasanya berbentuk hiperalgesia.
Nyeri rujukan ini biasanya didapatkan pada dermatom yang sama atau yang berdekatan dengan organ internal, sebagai akibat persarafan segmentai yang sama, namun mungkin juga pada tempat yang lebih jauh. Sebagai contoh kami kemukakan hal berikut: Nervus frenikus mensarafi diafragma dan jaringan di sekitarnya, yaitu jaringan pleura dan jaringan ekstraperitoneal yang berada di dekat kandung empedu dan hepar. Serabut saraf frenikus ini berasal dari saraf spinal servikal 3,4 dan 5. Iritasi kandung empedu, hepar atau bagian tengah diafragma dapat mengakibatkan rasa-nyeri dan hiperestesia di daerah organ tersebut, tetapi di samping itu kita dapatkan pula rasa-nyeri di kuduk dan bahu, yaitu daerah kutan (kulit) dari nervus spinal servikal 3,4 dan 5 tersebut. Nyeri rujukan ini mungkin disebabkan oleh refleks visero-kutan.
Daerah rujukan yang perlu kita ketahui, antara lain ialah: nyeri angina pektoris dapat dirujuk sampai lengan kiri, nyeri di ginjal dapat dirujuk ke daerah inguinal.
Rasa Somestesia Luhur
Perasaan somestesia luhur ialah perasaan yang mempunyai sifat diskriminatif dan sifat tiga-dimensi. Kadang digunakan juga kata rasa-gabungan (combined sensation). Rasa somestesia luhur bukanlah hanya gabungan dari rasa yang telah kita perbincangkan terdahulu. Pada rasa somestesia-luhur dibutuhkan komponen kortikal untuk persepsi akhir. Dalam hal ini komponen kortikal merupakan fungsi dari lobus parietal yang bertindak untuk menganalisis serta mensintesa tiap macam perasaan, mengkorelasi serta mengintegrasi impuls, menginterpretasi rangsang dan juga menyaring serta mengambil engram-engram untuk membantu mengenal impuls tersebut. Jadi yang diutamakan di sini ialah fungsi diskriminatif serta fungsi persepsi. Rasa somestesia luhur meliputi rasa diskriminasi, barognosia, stereognosia, topostesia (topognosia), grafestesia.
Diskriminasi. Dua titik, atau spasial ini merupakan kemampuan untuk mengetahui, bahwa kita ditusuk dengan dua jarum atau dengan satu jarum pada saat yang sama.
Pemeriksaan rasa diskriminasi. Pada pemeriksaan rasa-diskri-minasi infa di tes kemampuan untuk mengetahui apakah kita ditusuk dengan dua jarum atau satu jarum pada waktu yang bersamaan. Untuk maksud ini dapat digunakan jangka Weber atau dua buah jarum, atau peniti. Bagian-bagian dari badan kita tusuk pada waktu yang bersamaan dengan dua jarum.
Pasien harus mampu mengetahui apakah ia ditusuk dengan satu atau dua jarum. Perlu diketahui jarak yang terkecil yang masih dapat dirasakan sebagai dua tusukan. Jarak ini berbeda-beda pada bagian tubuh, misalnya pada lidah, bila kedua tusukan berjarak 1 mm sudah dapat dirasakan sebagai dua tusukan; pada ujung j'ari dibutuhkan jarak 2 - 4 mm; pada telapak tangan 8-12 mm; pada punggung tangan 20 - 30 mm; pada punggung 40 - 70 mm; dan pada lengan atas dan paha jarak terkecilnya ialah 75 mm. Pada pemeriksaan ini perlu pula dibandingkan bagian badan yang simetris. Bila seorang pasien terganggu rasa diskriminasinya, sedangkan rasa rabanya baik, hal ini menunjukkan adanya lesi di lobus parietalis.
Barognosia. Barognosia ialah kemampuan untuk mengenal berat benda yang dipegang, atau kemampuan membeda-bedakan berat benda. Kemampuan ini akan terganggu bila rasa proprioseptif, terutama rasa-sikap dan rasa-gerak tidak sempurna lagi. Untuk memeriksa ini kita gunakarv benda-benda yang bentuk dan ukurannya sama serta terbuat dari zat yang sama, namun beratnya dibuat berbeda, misalnya dengan menambahkan pemberat (misalnya timbal) di dalamnya. Hilangnya kemampuan untuk membedakan berat disebut baragnosia.
Stereognosia. Stereognosia merupakan kemampuan untuk mengenal bentuk benda dengan jalan meraba, tanpa melihat. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat mengenal gelas, botol, atau kunci dengan jalan meraba tanpa melihat. Bila kemampuan ini terganggu atau hilang, penderita disebut menderita astereognosia, atau agnosia-taktil.
Astereognosia hanya dapat ditentukan bila rasa eksteroseptif dan proprioseptif baik; jika hal ini terganggu, rangsang atau impuls tidak sampai ke korteks untuk disadari dan diinterpretasi.
Beberapa tahap dapat kita rinci dalam mengenal suatu benda. Mula-mula ukuran benda tersebut dikenal, kemudian bentuknya dalam dua dimensi, diperhatikan dan setelah itu bentuk dalam tiga dimensi dan akhirnya timbullah pengenalan benda tersebut. Pemeriksaan ukuran dapat dilakukan dengan jalan menggunakan benda yang bentuknya sama, tapi ukurannya berbeda. Bentuk diperiksa dengan menggunakan benda yang berbentuk sederhana, misalnya bundar, segi empat, segitiga; bentuk tiga dimensi dengan menggunakan benda-benda stereometris, misalnya kubus, piramid atau bola. Kemudian daya mengenal diperiksa dengan jafan merabakan benda sederhana seperti kunci, kancing, pisau, pinsil, dan penderita disuruh mengenalinya.
Pemeriksaan Stereognosia. Cara memeriksa rasa-stereognosia ialah: penderita disuruh menutup mata, kemudian ditempatkan bermacam benda ke dalam tangannya. Benda yang ditempatkan ini hendaklah benda yang sederhana dan telah dikenal pada kehidupan sehari-hari, misalnya kunci, gelas, uang logam, atau arloji. la disuruh menyebutkan benda apa yang sedang dipegangnya. Jika ia tidak mampu menyebutkan nama benda tersebut, ia disuruh melukiskan ukuran, bentuk dan materi benda tersebut. Rasa stereognosia diperiksa pada tangan; jika tangan pasien lumpuh kita tolong ia memegang atau menggenggam benda tersebut.
Topestesia (topognosia). Topestesia atau topognosia ialah kemampuan untuk melokalisasi tempat dari rasa-raba. Bila orang tidak mampu melokalisasi rasa-raba ini, sedang rasa eksteroseptifnya baik, hal ini biasanya disebabkan oleh lesi yang melibatkan lobus parietal, dan disebut topagnosia atau topoanestesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar